Beranda | Artikel
Jika Seorang Guru Atau Dosen Pns Sudah Terlanjur Menerima Hadiah Dari Siswa Atau Mahasiswanya
Selasa, 1 April 2014

Pada dasarnya memberi hadiah adalah amalan yang dianjurkan sebagaimana dalam sabda Nabi yang diceritakan oleh Aisyah,

تهادوا تحابوا

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al Adab al Mufrad, hasan).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berulang kali menerima hadiah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallahu ‘anhu: Ada seorang perempuan Yahudi yang menghadiahkan daging kambing yang ternyata beracun. Dalam shahih Bukhari juga disebutkan bahwa raja Ayilah menghadiahkan baghal (peranakan kuda dan keledai) yang berwarna putih dan sepotong kain.

Akan tetapi syariat melarang beberapa jenis hadiah, semisal hadiah dari orang yang berutang, demikian pula hadiah untuk PNS.

Termasuk di antaranya adalah hadiah siswa atau mahasiswa kepada guru atau dosen. Hadiah ini termasuk hadiah untuk pegawai yang terlarang baik hadiah tersebut setelah guru mengumpulkan nilai ujian atau bahkan setelah nilai ujian diumumkan atau pun sebelum itu; baik hadiah tersebut dengan tujuan mempengaruhi kebijakan dan keputusan guru saat koreksi soal ataupun tujuannya semata-mata memberi hadiah dan berbuat baik kepada guru.

Dalil dalam hal ini adalah sebuah hadis yang terkenal disebut hadis Ibnu Lutbiyah.

عن أبي حميد الساعدي رضي الله عنه قال:”استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من الأزد يقال له ابن اللتبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي.

Dari Abu Humaid as Sa’idi, “Rasulullah mempekerjakan seorang dari suku Azd bernama Ibnu Lutbiyah dengan tugas mengumpulkan zakat. Setelah selesai berkeliling dan tiba di Madinah, dia berkata kepada Nabi, ‘Ini untuk Anda sedangkan yang ini adalah hadiah untukku.”

Mendengar laporan semacam itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فهلا جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا ؟ والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاه يتعر

“Coba dia hanya duduk manis di rumah ayah atau ibunya. Coba dia lihat apakah dia mendapatkan kiriman hadiah ataukah tidak. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya setiap orang yang menerima hadiah semacam ini akan memikulnya pada hari kiamat nanti, boleh jadi hadiah yang dipikul itu berupa onta yang bersuara sebagaimana suara onta, sapi atau pun kambing yang bersuara dengan suara khasnya masing masing.”

قال ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه ( اللهم هل بلغت اللهم هل بلغت ) . ثلاثاً.

Kemudian Nabi mengangkat tangannya hingga kami melihat putihnya ketiak beliau. Beliau lantas berkata sebanyak tiga kali, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan. Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan”.

Sisi pendalilan dari hadis di atas adalah dua hal berikut ini:

Pertama, hadis di atas menunjukkan bahwa semua orang yang mendapatkan gaji dari kas negara (baca: PNS) sebagai kompensasi kerjanya, maka dia tidak diperbolehkan mengambil tambahan apa pun untuk pekerjaan tersebut.

Dalil penguat dalam hal ini adalah sabda Nabi sebagaimana yang dituturkan oleh Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من استعملناه على عمل فرزقناه رزقاً فما أخذ بعد ذلك فهو غلول ) رواه أبو داود.

“Siapa saja yang telah kami pekerjakan dalam suatu pekerjaan lantas kami pun telah menggajinya dari kas negara maka semua yang dia ambil di luar gaji itu adalah ghulul alias harta yang didapat dari jalan khianat.” (HR. Abu Daud).

Kedua, dalam hadis di atas terdapat dalil yang menunjukkan haramnya seorang pegawai menerima hadiah tanpa rincian. Nabi tidak meminta keterangan kepada Ibnu Lutbiyah apakah dia menerima hadiah setelah selesai kerja atau sebelum itu, apakah pemberi hadiah bermaksud agar Ibnu Lutbiyah sungkan dalam melakukan tindakan atau pun tidak.

Dalam Mirqoh al Mafatih disebutkan perkataan Ibnu Malik, beliau mengatakan bahwa tidak boleh bagi pekerja zakat untuk menerima hadiah karena tidak mungkin ada yang memberinya hadiah melainkan karena adanya harapan agar sebagian zakat tidak diambil dan ini adalah suatu hal yang terlarang.

Boleh jadi hadiah tersebut bukan karena motivasi tersebut namun menimbang bahwa pekerja tersebut mendapatkan hadiah tersebut karena pekerjaan dan tugasnya dan dia telah mendapatkan gaji karenanya, maka orang tersebut tidak boleh menerima hadiah karena dua alasan tersebut; kekhawatiran curang dalam kerja dan menerima hadiah padahal sudah mendapatkan gaji.

Kita semua tahu dan menyadari bahwa membedakan niat pemberi hadiah antara yang niatnya agar diperlakukan khusus oleh pihak yang diberi hadiah ataukah tujuannya sekedar hadiah adalah pembuka jalan adanya berbagai macam suap dengan kedok semata-mata hadiah.

Dalam kitab Al Mazhalim al Musytarakah saat mengomentari hadis Ibnu Lutbiyah Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dikarenakan orang orang yang memberi hadiah itu memberikan hadiah karena ‘adanya kewenangan’ bagi si pekerja, maka hadiah tersebut menjadi hak semua orang yang berhak mendapatkan zakat. Disebabkan pengambilan zakatlah ada hadiah tersebut. Sehingga hadiah tersebut tidak hanya khusus bagi si pekerja zakat saja”.

Dalam Bada’i al Fawaid ketika mengomentari hadis Lutbiyah, Ibnul Qoyim mengatakan, “Dikarenakan ada dan tidaknya hadiah itu mengikuti ada dan tidaknya pekerjaan, maka hadis di atas menunjukkan bahwa adanya pekerjaan adalah sebab dilarangnya hadiah. Seandainya orang tersebut nganggur hanya duduk manis di rumah bapak atau ibunya niscaya tidak ada hadiah. Adanya kiriman hadiah itu dikarenakan ada pekerjaan bagi orang yang diberi hadiah sehingga adanya pekerjaan adalah illah atau sebab dilarangnya hadiah”.

Dalam Al Mufhim Abul Abbas al Qurthubi mengatakan, “Hadis di atas menunjukkan secara jelas bahwa hadiah yang diberikan kepada para hakim dan pejabat negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur urusan banyak orang adalah hadiah yang terlarang. Status hadiah tersebut adalah sebagaimana ghulul dari sisi haram dan terlarang keras karena menerima hadiah semacam ini tergolong memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan termasuk suap”.

Jika seorang guru atau dosen PNS sudah terlanjur menerima hadiah dari siswa atau mahasiswanya apa yang harus dia lakukan. Ada perselisihan pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Ibnu Muflih dalam Al Mubdi’ mengatakan “Ada yang berpendapat hadiah tersebut harus dikembalikan ke kas negara berdasarkan hadis Ibnu Lutbiyah dan ada yang mengatakan bahwa hadiah tersebut dikembalikan kepada yang memberi”.

Pendapat yang tepat hadiah tersebut dikembalikan kepada yang memberi, jika tidak memungkinkan dikembalikan ke kas negara atau digunakan untuk membeli keperluan sekolah.

Hadiah pegawai untuk atasannya itu hukumnya diperbolehkan dengan dua syarat:

Pertama, hadiah tersebut bersifat dari dua arah, atasan memberi hadiah kepada bawahan dan bawahan memberi hadiah kepada atasan.

Kedua, sudah ada kebiasaan untuk saling memberi hadiah sebelum atasan tersebut menjadi atasan dan setelah dia menjadi atasan.

Jika dua syarat ini dipenuhi, maka hadiah tersebut bukanlah hadiah karena status jabatan yang dimiliki oleh pihak atasan.

(Fatwa Prof. Dr Ahmad bin Muhammad al Khalil, murid Ibnu Utsaimin).

Sumber: http://www.alkhlel.com/modules/news/article.php?storyid=394

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2975-jika-seorang-guru-1579.html